Kenal dong dengan kue kenyal dan enak ini? Di Jepang walaupun tersedia setiap saat, tapi mochi identik sebagi camilan menyambut tahun baru. Mochitsuki atau ritual menumbuk mochi merupakan salah satu tradisi dalam menyambut tahun baru di Jepang. Untuk membuat mochi, ketan yang sudah ditanak dimasukkan ke dalam lesung, kemudian ditumbuk dengan menggunakan alu. Tiga atau empat orang laki-laki bertugas menumbuk, sedangkan seorang wanita bertugas membolak-balik beras ketan dengan tangan yang dibasahi dengan air. Beras ketan ditumbuk hingga lengket dan membentuk gumpalan berwarna putih. Suara yang dihasilkan dari ritual menumbuk mochi oleh orang Jepang dipercaya dapat mendatangkan dewa yang kemudian akan memberikan keberuntungan. Mochi biasanya dimakan sebagai pengganti nasi pada saat tahun baru. Selain dimakan, mochi juga dijadikan hiasan tahun baru.
Konon berdasarkan mitos Jepang, mochi sangat berhubungan dengan kelinci. Kelinci dipercaya sebagai pembuat mochi di Bulan. Mengapa berkembang mitos seperti itu di Jepang?
Pada zaman dahulu kala, di suatu hutan hiduplah 3 ekor binatang, yaitu seekor monyet, seekor rubah, dan seekor kelinci. Ketiganya bersahabat baik dan merupakan binatang yang baik hati. Melihat ketiga binatang tersebut, dewa penjaga bulan menjadi penasaran. “Siapa diantara mereka yang paling baik?” pikirnya.
Kemudian turunlah Dewa Bulan ke Bumi. Beliau menyamar menjadi seorang kakek tua yang kelaparan. Ia menghampiri ketiga binatang tersebut dengan tertatih-tatih. “Saya sangat lapar dan sudah berhari-hari tidak makan. Kasihanilah orang tua ini,” kata sang dewa. Melihat pengemis yang kelaparan, ketiga binatang itu jatuh kasihan. Monyet segera memetik buah-buahan di hutan sebanyak yang ia bisa dan memberikannya kepada pengemis tersebut. Sementara rubah mengumpulkan ikan sebanyak-banyaknya untuk si pengemis.
Namun kelinci tidak bisa mengumpulkan apa-apa. Ia tidak bisa memetik buah diatas pohon yang tinggi maupun menangkap ikan di sungai. Kelinci menjadi sedih, namun ia tak putus asa. Ia meminta tolong kepada monyet dan rubah untuk membantunya mengumpulkan ranting dan kayu kering. Kemudian ia membuat api dan membakar kayu-kayu tersebut. “Maaf aku tidak bisa mengumpulkan apa-apa,” kata kelinci. “Namun aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Aku akan masuk ke dalam api, setelah matang makanlah dagingku supaya kamu tidak lapar lagi.”
Kelinci segera melompat ke dalam api untuk membakar dirinya sendiri. Namun dalam sekejap sang dewa menyelamatkan kelinci dan menampakkan wujud aslinya. “Kau tidak perlu membakar dirimu, wahai kelinci. Sebenarnya aku adalah dewa penjaga bulan. Ketulusan dan kebaikanmu membuatku terharu. Ikutlah denganku ke bulan untuk menemaniku.”
Sejak saat itu, kelinci tinggal bersama sang dewa. Ia melayani sang dewa dan mengawasi bumi dari kejauhan. Bila monyet dan rubah merindukan sahabatnya, mereka memandang bulan di langit untuk melihatnya. Dan bila bulan purnama tiba akan terlihat si kelinci yang sedang membuatkan mochi untuk sang Dewa.