THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 11 April 2011

~My Poems....~

DANDELION
Pernahkah kau mendengar:
“Jika kau adalah sekuntum dandelion, apa yang akan kamu lakukan?”
Terkadang…
Aku menunggu angin ‘tuk membawaku pergi bersamanya
Terkadang…
Aku menunggu hari esok tiba
“Seperti apa esok hari ‘kan menyambutku?”
Aku tahu,
aku hanyalah rumput liar yang ‘tak berarti…
Sedikit…
Sedikit…
orang yang hanya menoleh kepadaku
yang ‘tak berarti…
Jika aku dapat pergi ke suatu tempat
“yang hanya aku yang tahu”
Tempat dimana aku berada
Entah sejak kapan,
entah mengapa…
aku menginginkan tempat
“yang hanya aku yang tahu” itu
DIRIMU
Terkadang…
Terkadang…
Aku merasa
sayap itu terus dikepak-kepakan
Karna itu…
Aku berlari ‘tuk mengejarnya
Walaupun harus melintasi
Tangga yang ‘tak berujung
LOVE
In the past
I remember you
For the last I know you
In this day
I remember you
For the last I know you
Even…
In the last day
I saw you…
I always remember you
For the my last remembrance
Ramadhanku
Tak enak…
Sesak…
Kupun menggeliat
Sesak…
Masih dalam khayalku
Kupun masih terhanyut
Sampai tak bergerak
Tersadar…
Cahaya Illahi telah menyingsing
Takbir Ramadhan telah tiba
Ku sambut dengan guntai
My Own That Rightly
The wind blow
to spring upon my face
blow the leafs
to wipe the tears
Sometimes looked a hard person
in mind firm a shiver
to strive to be calm
but in mind make hesitation
I look at the blue sky
I parried the sunrise
to strive make a smile
and happy in my own life
But…that not the really
I just a man who wear the mask
who run from the really
who afraid about sorrow
When this is over?
The lie mask to stick to trough
run from sorrow
I trough to step
Devils Never Cry
Steel a soul for a second chance
But you will never
become a man
My chosen fortune
makes me stronger
In a life that craves the hunger
a freedom and a guest for life
until the end the judgment night
Bless me with the leaf off of
the tree
On it I see the freedom reign
The powers proven to end the madness
Upon I take it to end the savage
The rays of light a truth of meaning
to my father the blood is pleading
Hilangnya Sang Terkasih
Kalut,
Tertegun hati kami saat mendengar kabar itu
Gempar…itulah yang terjadi
Hari itu, penuh dengan gundah gulana yang terjadi di sini
Risau,
Hati yang galau mulai menyelimuti kami
Takut…Sedih…Itulah yang kami rasakan saat ini
Kemelut masih terjadi disini
Rasa takut yang terus melekat
Takut…takut akan hilangnya dirimu
Takut…dirimu yang letih
Kami,
Hanya ingin dirimu disini!
Kami,
Hanya ingin bersama dirimu!
Ingin melihat canda dan tawamu disini
Bersama kami
~If…~
If I could choose to live
my life
There’ll be no if’s to say
If I would choose to hold
your hand
There’ll be no words to say
If I would choose to touch
you there
Would you touch me there too
And if you would choose
to stay with me
I’ll spend my life with you
Without thought,
without pride
Leave the things that
seem to weaken us
Without fear,
leave your lies
Let the magic turn your
life around
TERTIPU!
Lelah…
Sesal ‘tuk berada disini
Lelah…
Letih ‘tuk berada disini
Tawa tercipta
Kecewa tersirat
Meski begitu…
Meski seperti itu…
Berempat, gembira bersama
Merayakan hari yang ‘tak terlahir saat ini
Istirahat
Sepi…
Menenangkan…
Menenangkan…
Terasa bagai menikmati
indahnya kehidupan
Setelah sekian lama
Letih…
Kehidupan hari ini kugunakan
untuk mengisi baterai
jiwaku…

KAMU PASTI BISA!

Kisah realita tentang kehidupan seorang manusia…
“Hidup itu tidak adil”, ucapnya sambil memeluk ibunya. “Mengapa mereka memandangku dengan sebelah mata, apakah aku berbeda?”, ucapnya kepada ibunya sambil menangis. Reina adalah seorang gadis yang memiliki kelainan pada tulang kakinya, sehingga ia harus berjalan dengan menggunakan tongkat penyangga agar ia tidak terjatuh (skruk).
“Itu tidak benar sayang, mereka dan kamu sama”, ucap sang ibu seraya membelai-belai rambut Reina. “Tapi mereka mengatai aku ‘si pincang’ dan tidak mau bermain bersamaku”, isaknya. Sang ibupun ikut menangis mendengar apa yang telah dikatakan anaknya.
“Apakah orang sepertiku tidak dibutuhkan? Apakah aku tidak boleh mendapatkan teman?”, katanya sambil terisak-isak. Dengan lembut, sang ibupun menjawab “Itu tidak benar, bagiku kau sangat berarti. Ibu yakin, suatu saat pasti kamu akan mendapatkan seorang teman…bahkan lebih, ibu yakin hari itu akan datang. Kamu pasti akan mendapatkan teman-teman yang menerima dirimu apa adanya”.
Berbekal kata-kata ibunya, ia percaya bahwa akan ada di mana saatnya dia akan menemukan teman yang dapat menerimanya dengan segala kekurangan yg ia miliki. Waktupun terus berlalu dan kini Reina telah beranjak dewasa. Ia tumbuh menjadi seorang gadis yang ceria meskipun ia tidak seperti orang lain. Kini Reina telah genap berusia 20 tahun. Reina bertekad untuk melanjutkan pendidikannya sampai kejenjang yang paling tinggi, meskipun Ibunya hanyalah seorang buruh biasa dan meskipun ia tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah.
Keinginannyapun terkabul setelah akhirnya ia diterima di sebuah universitas yang cukup ternama. Reina menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan sehingga ia harus berusaha lebih keras dari pada orang lain. Semangat…itulah yang membuat dirinya bangkit dari keterpurukannya selama ini.
Namun, hal ini semakin sulit bagi Reina untuk beradaptasi maupun mencari teman di kampusnya. Pada hari penerimaan mahasiswa baru, Reina mengalami kesulitan untuk mengikuti acara yang diadakan pada waktu itu sehingga ia hanya dapat duduk terdiam menyaksikan acara tersebut berlangsung. Pada hari pertama masuk kuliah, seluruh kelas menatapnya dengan aneh dan iba sehingga pada waktu itu Reina belum bisa mendapatkan teman karena teman-teman sekelasnya enggan berbicara padanya karena takut menyinggung perasaan Reina.
Hal ini terus berlangsung selama seminggu, Reina yang tadinya yakin kalau ia akan mendapatkan teman akhirnya merasa pesimis. Kegalauanpun menyerang dirinya. “Mengapa mereka selalu seperti ini padaku”, ucapnya dalam hati.
Reina tinggal bersama ibunya baginya selain menjadi seorang ibu, ia juga merupakan teman dan guru. Segala keluh kesahnya selama ini ia curahkan kepada ibunya karena hanya itulah tempat yang dapat ia jadikan sandaran. “Bu, aku tak yakin akan mendapatkan teman di kampus. Sepertinya aku tak cocok di sana. Apa sebaiknya aku pindah saja dari sana?”, katanya kepada ibunya.
“Apa benar begitu? Apakah kamu sudah berusaha mengakrabkan diri dengan mereka?”, Tanya ibu dengan santai.
“Belum sih, tapi aku merasa mereka tidak begitu menyukaiku. Aku tidak suka kalau mereka menatapku iba”, katanya.
“Berusahalah, ibu yakin lambat laun mereka pasti mengerti keadaanmu. Kamu pasti bisa!”, ucap ibu dengan penuh semangat.
“Huh, bicara memang mudah…”, katanya dalam hati. Reina tahu ibunya pasti berpikir kalau ia tidak akan mudah untuk mendapatkan teman sehingga ibunya hanya bisa menyemangati Reina agar ia tidak putus asa.
Di kampus, Reina terbilang pintar dan rajin sehingga banyak dosen yang menyukainya. Reina selalu diperebutkan oleh teman-teman sekelasnya bila ada tugas kelompok, akhirnya iapun bisa mendapatkan teman. Namun, kebahagian itu tidak berlangsung lama. Teman yang ia peroleh selama ini tetap saja memandang dirinya dengan sebelah mata. Seusai kelas terakhir, teman-teman Reina merencanakan untuk jalan-jalan ke Mall. Reina mengajukan dirinya untuk ikut serta, tetapi mereka malah mengalihkan pembicaraan. Sesaat Reina mendengar salah seorang temannya berbisik, “Pssst…Kalau dia ikut, nanti kita akan repot. Dia khan jalannya lama banget”. Iapun merasa sedih mendengarnya.
Setibanya dirumah, Reina mengurung dirinya di kamar. “Kenapa…Kenapa…Kenapa mereka seperti itu padaku?! Aku tidak pernah menginginkan terlahir seperti ini. Aku juga ingin normal…!!”, serunya sambil menangis.
“Tuhan, mengapa engkau memberikan tubuh seperti ini padaku?”, tanyanya. Ia merasa kesedihan yang ia alami tidak pernah putus, dan iapun jadi teringat masa lalunya. Saat ia duduk di bangku SD ia sempat mendapatkan teman namun seiring berjalannya waktu merekapun terpisah karena mengejar impian mereka masing-masing. Sehingga Reina kembali merasa kehilangan dan kesepian. Kemudian sewaktu ia berada di SMP ia merasa terdiskriminasi sehingga masa remajanya ia lalui tanpa adanya teman yang ia impikan. Hal ini terus berlanjut sampai ia duduk di bangku SMA.
“Reina, kamu kenapa sayang? Buka pintunya, ceritakan semuanya pada ibu”, ucap ibu dari balik pintu. Sesaat tak ada jawaban apapun dari anaknya, tapi taklama kemudian Reina akhirnya mau membukakan pintu untuk ibunya dan langsung memeluk sang ibu.
“Kamu kenapa sayang? Ayo, cerita. Ibu pasti akan mendengarnya”, ucap ibu dengan lembut. “Bu, mengapa aku dilahirkan seperti ini? Apa Tuhan tidak suka padaku?”, katanya.
Sang ibupun terkejut mendengarnya, “Apa ada hal yang terjadi di kampus? Ceritakan pada ibu”.
“Teman-teman satu kelompokku merencanakan akan jalan-jalan ke Mall, tapi sewaktu aku bergabung mereka seolah tak ingin aku turut serta. Dan…”, Reina tak sanggup untuk melanjutkan ceritanya. Air matapun mulai membasahi pipinya.
“Dan apa sayang?”, ucap sang ibu sambil menghapus air mata anaknya.
“Dan…ada temanku yang berbisik mengatakan kalau aku ikut serta, aku akan merepotkan karena jalanku lama”, katanya.
“Kejam sekali mereka berkata seperti itu”, ujar sang ibu kesal karena mendengar hal itu.
“Seharusnya kamu pukul mereka dengan tongkatmu”, geram ibu.
“TIDAK MAU! Justru kalau begitu aku malah dijauhi”, ucapnya.
Sambil menatap anaknya, sang ibu tersenyum dan berkata, “Alangkah baiknya jika kejahatan dibalas dengan kebaikan. Suatu saat mereka pasti mengerti dan menerimamu. Meskipun kamu harus menangis dan terluka, janganlah kamu membalasnya dengan hal yang sama”.
Esoknya, teman-teman satu kelompoknya hendak berpergian kembali. Mereka bercakap-cakap dan memutuskan untuk pergi ke bioskop. Rienapun menghampiri mereka dan menawarkan dirinya untuk bergabung, namun mereka terdiam dan mulai mengalihkan pembicaraan lagi. Minggu-minggu selanjutnya, hal yang sama terus terulang. Seberapa kerasnya ia berusaha, mereka masih saja tak mengajaknya.
Karena kesal akhirnya Reinapun meledak, “MENGAPA KALIAN SELALU SAJA SEPERTI INI PADAKU? KALIAN TIDAK SUKA AKU KARENA AKU CACAT? BILANG SAJA TERUS TERANG…”
Semua beban pikiran yang tertumpuk di kepalanya meledak begitu saja. Iapun lupa dengan dengan ucapan ibunya, bahwa ‘kejahatan harus dibalas dengan kebaikan’. Jika ia mengingat kata-kata itu, baginya sangatlah tidak adil. “Mengapa aku harus berbaik hati dan bersabar dengan semua ini? Aku sudah tak tahan diperlakukan seperti ini, mereka harus tahu isi hatiku”, ucapnya dalam hati.
Setelah kejadian itu, Rienapun kembali sendirian. Mereka masih bertegur sapa, tetapi tidak seperti biasanya. Mereka tetap sekelas, tetapi tidak begitu dekat. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa mereka sudah berlaku tidak adil pada Riena dan mereka sadar ‘keterbatasan’ seharusnya tidak menjadikan hambatan dalam menjalin persahabatan.
“Riena, maafkan kami ya”, kata salah seorang teman satu kelasnya.
Riena terkejut mendengarnya, mengapa mereka ingin berbaikan dengannya. Ia takut kalau ia hanya dimanfaatkan saja. “Mengapa kalian meminta maaf?”, ucapnya datar.
“Selama ini kami telah meremehkanmu dan melukai hatimu, maaf ya”.
“Baiklah, kalian kumaafkan. Kita khan teman”, kemudian iapun tersenyum. Merekapun akhirnya berbaikan dan Reina pada akhirnya mendapatkan teman seperti apa yang telah ia impikan selama ini. Mereka mau mengerti dan tidak menganggap remeh dirinya lagi meskipun ia tidak sempurna.